Memenuhi “undangan” seseorang adalah hukumnya wajib, kalau memang yang diundang memang bisa mendatangi undangan tersebut. Kebetulan tempat pengundang tidak jauh dari tempat yang sambangi, saya putuskan untuk sekalian mengunjunginya. Dengan menaiki sebuah kereta yang cukup nyaman dari Stasiun Tugu, saya naik sebuah kereta Madiun Jaya, sebuah kereta api AC jurusan Jogja-Madiun yang cukup bersih dan sejuk. Kalau tidak ada celoteh obrolan beraksen Jawa dan bahasa Indonesia di situ, Suasananya, membuat saya berpikir seperti naik densha (電車-kereta api) di Jepang. Mudah-mudahan tingkat kebersihan dan keteraturan seperti ini bisa dipertahankan di perusahaan KA Indonesia.
Di Stasiun Solo Balapan, kota Solo, saya dijemput seorang yang mempunyai antusiasme dengan determinasi tinggi. “Bagaimana kabarnya Mas?”, sapanya ramah khas di depan pintu keluar stasiun. Ya, sang pemberi undangan kali ini adalah seorang pengusaha yang pernah menjadi kenshusei (研修生-pemagang) IM Japan. Pernah magang kerja di kota Hamamatsu, Prefektur Shizuoka. Kenshuseiini bernama Teguh, seorang pengusaha yang membawahi sebuah pabrik garment dengan pekerja sekitar 300-350 orang yang berlokasi di kota Sukoharjo, sekitar 10 Km sebelah selatan Kota Surakarta.
Lokasi pabriknya di daerah Combongan yang masih dikitari sawah-sawah hijau nan asri, Teguh sang direktur yang pernah ex Kenshusei ini menggelindingkan bisnisnya di bidang garmen. Dengan senang hati, Teguh mengajak saya “sightseeing” di pabriknya yang didominasi wanita itu. Diantara deru mesin jahit, Dia mencoba menjelaskan alur produksi di pabriknya. Dari proses “menata”-nya dan cara menempatan beberapa tim untuk melakukan QC (Quality Control), saya tahu bahwa sang direktur yang masih muda, sangat melek dan aware dengan masalah kualitas. Sebuah adagium yang tidak asing bagi para pemagang yang pernah merasakankibishi-nya (厳しいーketat/keras) proses controlling pada manajemen produksi Jepang. Ya, dia sepertinya menerapkan proses pembelajaran yang didapat dari belajar magang, Kaizen procedure. Tak ayal, beberapa barang yang sebenarnya salahnya “minimalis”, harus dimasukkan kotak bertulis “reject”, yang berarti harus diulang proses menjahitnya (kalau masih bisa diperbaiki). Kalau jumlah reject-nya melebihi rata-rata, sang supervisor harus menghadap dan mempertanggungjawabkan “kesalahan”-nya tersebut.
Dengan penerapan QC yang terpadu dan ketat, tak ayal banyak PO yang “dipasrahkan” di perusahaan yang dia pimpin. Ribuan order baju per bulan menunggu untuk digarap, di time chartproduksi tercatat beberapa hari libur yang diharuskan lembur untuk mengejar target pemesanan. Menariknya, tercatat beberapa merek cukup populer, ternyata dikerjakan disitu juga, sebut saja seperti Tom Taylor, Mustang, Oliver, Levis. Dan yang membuat saya “bangga”, dia tetap menyelipkan di tiap piece baju itu dengan label “made in Indonesia”. “Kita harus bangga Mas dengan produk buatan kita sendiri”, ujarnya dengan mimik serius. Membanggakan ada anak muda punya idealisme seperti ini.
Walaupun berorientasi profit, Teguh ternyata sangat memperhatikan hal-hal “remeh” bernada kemanusiaan, seperti kondisi kesehatan anak buahnya. Di sebuah ruangan di sudut pabrik, dia menunjukkan sebuah klinik kecil yang digawangi seorang dokter dengan seorang perawat yang bertugas memeriksa keluhan kesehatan para karyawan secara cuma-cuma, termasuk obatnya. Kesehatan buat semua karyawan pabrik baginya adalah hal mendesak, terlebih biaya kesehatan di luar pabrik masih boleh dikata belum memihak orang kebanyakan, terutama karyawan pabrik. Sebuah langkah yang perlu diapresiasi dari direktur muda ini.
Sosok Teguh barangkali tidaklah banyak. Kalau mau mengamati dengan jeli, kebanyakan para jebolan magang yang kembali ke tanah air. Walaupun secara materi, uang yang dibawa cukup lumayan, banyak yang terpuruk menjadi “miskin” kembali. Barangkali ini cerita lama. Bahkan saya pernah berbincang dengan ketua IKAT-Jepang (Ikatan Alumni Trainee Jepang), Saudara Ribut pernah bertutur hanya sekitar 10-15% saja dari alumni magang Jepang yang jumlahnya kurang lebih 45.000 orang, yang berhasil dan mampu menjadi “sachou” (社長- direktur) seperti Teguh tadi.
Padahal kalau potensi alumni Jepang yang pulang ke tanah air ini digarap dengan lebih serius bukan tidak mungkin akan menjadi basis pembangunan usaha kecil dan menengah (SME’s) Indonesia yang tangguh dan kuat. Karena sebagian besar parakenshusei tersebut, di Jepang tempat magang mereka juga bukan perusahaan-perusahaan besar, tetapi juga perusahaan-perusahaan kecil dan menengah Jepang. Dengan bekal magang yang ber-atmosfer relatif mirip dan skill yang memadai dari pengalaman tersebut, apalagi dari segi finansial uang yang dibawa pulang juga cukup lumayan. Kalau dikelola dengan baik, bukan hal yang mustahil akan bermunculan sentra-sentra industri kecil yang kuat yang akan membuka banyak lapangan usaha.
Insya Allah, saya pribadi akan berusaha membantu dengan sedikit apa yang saya punyai untuk rekan-rekan Kenshusei ini. Meminjam kata-kata seorang kawan ketika rapat pelatihan untuk para kenshusei. “Kenshusei Gituuu Lhooo….pasti Bisa !!!!”
Sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2012/05/18/mantan-kenshusei-mengepalai-300-karyawan-463806.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar